Wamaa Arsalnaaka Illa Rohmatan Lil‘aalamiin

Kita dituntut terus-menerus meningkatkan prestasi takwa, semampu mungkin dan sesungguhnya ketakwaan yang berada di dalam masjid itu sangat kecil disbanding prestasi ketakwaan yang di luar masjid. Orang yang berada didalam masjid kemudian beribadah secara praktis itu memang bagus tapi wajar karena tidak ada pengganggu atau penggoda, dan kondisinya memang terfokus untuk ibadah.

Mau korupsi, apa yang mau dikorupsi? Tidak ada. Mau berbuat bohong? Tidak mungkin, karena sedang mengikuti acara khutbah. Justru diluar itulah ketakwaan diuji dan ditingkatkan. Apakah pulang dari jum’atan itu nyangking sandale kancane apa endak? Ketika dia kembali kerja di pasar, dia berbuat bagus apa ndak? Ketika dia kekantor bertaqwa atau tidak? Ketika dia di parkiran dia bagus atau tidak? Dan seterusnya.

Khusus konteks masyarakat Tebuireng, terkait dengan sepeninggalnya guru kami Abdul Rohman Ad Dakhil, yang biasa dipanggil oleh masarakat dengan “Gus Dur”. Gus ini betul-betul telah dipilih Alloh untuk dimakamkan di Pondok ini sesuai dengan kepribadiannya, bahkan sesuai dengan namanya “Abdurrohman”. Dia hamba Alloh Yang Maha Rohman. Ar Rohman adalah penyebar kasih sayang yang limpah dan mutlak tidak pandang hamba itu muslim atau kafir. Ar Rohman adalah lintas kasih yang limpah, tidak pandang itu mukmin yang patuh atau orang yang munafik, berakal atau tidak. Itulah arti Ar Rohman sehingga secara bagus.

Kiyai kita ini mampu memerankan sebagai hamba Alloh yang mempunyai sifat rohman, memberikan salam sejahtera kepada seluruh umat dan membawa kebahagiaan. Bahkan, tidak ada orang yang mengingkari, walaupun beliau sudah menghadap Alloh sudah wafat tetep bisa menebar rohmat bagi lingkungannya. Sesungguhnya kepribadian inilah yang disindir, yang digagas oleh Alloh, bahwa manusia itu hendaklah menjadi manusia yang bermanfaat bagi lingkungannya. Tidak hanya pada saat sujud,  saat wafatpun beliau demikian. Namun tidak berarti bahwa beliau itu segala-galanya karena beliau tetep manusia untuk itulah tetep dibutuhkan subsidi do’a tetep dibutuhkan do’a yang bagus.

Namun, satu sisi kita bisa melihat bagaimana setelah Hadrotul  Rosul Rosululloh Muhammad sollallohu ‘alaihi wasallam wafat, meskipun wafat, betapa omset masukan yang diperoleh oleh negara Arab karena orang yang berziarah kesana baik di baitulloh ataupun di kobr (kuburan rosululloh). Begitu juga para wali-wali, meskipun beliau sudah wafat tapi beliau tetap memberikan manfaat pada lingkungan. Lalu, bagaimana sesungguhnya Tebuireng ini menyikapi fenomena ini?

Imamuna As Syafi’i menuturkan bahwa: “Ada tiga pandangan yang biasa dilakukan orang dengan efek masing-masing; Pertama, yaitu ‘ainurridho’. ‘Ainurridho itu pandangan yang serba positif, memandang orang serba positif, memandang persoalan serba positif, sehingga tidak bisa melihat negative sama sekali. Itulah yang disindir dari wa’ainurridho an kulli ‘aibin tubdil kholia kemudian kebalikan dari ‘ainurridho yaitu ‘ainussuht, wa’ainussuhti tubdil masaawia dengan pandangan yang picik dan negative yang cuma mengomentari semua pandangan-pandangan itu dengan negative, negative dan negative.

Bagaimana sesungguhnya keberadaan Gus Dur di Tebuireng ini?

Kita harus melihat dengan ‘ain yang ketiga yaitu ‘ainul yaqin; pandangan kejujuran. Mohon maaf, dari satu segi, beliau dikunjungi oleh tamu-tamu yang sangat ingin menghormat beliau. Para peziarah itulah tamu beliau sedangkan keluarga Pondok Pesantren, penduduk Tebuireng, Cukir dan sekitarnya adalah shohibul bait. Seperti layaknya tamu, umumnya tamu itu semakin banyak itu pasti semakin mengganggu dan pasti mengganggu ketenangan tuan rumah. Tidak boleh ada mata yang tidak jujur terhadap ini, siang-malam gruduk-gruduk, parkir, kantin dan lain-lain, pasti mengganggu.

Tapi mohon maaf, diingatkan oleh Imam Syafi’i, jangan memandang dari segi negative saja, jangan pandang darisegi ‘ainussuhti saja, tapi imbangilah dengan pandangan ‘ainurridho, bahwa tamu-tamuu itu adalah membawa berkah, baarokna haulahum (membawa berkah bagi lingkungannya).  Pandangan yang kedua inilah yang disebut ‘ainurridho. Lingkungan menjadi berkah; yang tidak tahu berdagang, mendadak tahu! Yang tidak tahu parkir mendadak tahu. Semua tiu membawa berkah dan itulah ‘ainurridho.

Dari ‘ainurridho dan ‘ainusshti ini dipadukan, menjadi ainnul yaqin sehingga ada nasehat yang bagus. Seyogyanya peziarah dituntut menjadi peziarah yang sholeh, bukan berpura-pura berziarah tetapi di situ dia mencopet, lalu membuat kerusuhan. Tidak seperti itu!

Begitu pula tuan rumah, harus berperilaku seperti yang diajarkan Gus Dur sebagai rohmatan lil’alamin. Buatlah tamu itu nyaman, buatlah merelka tersenyum dan puas, tidak pernah mengeluh karena parkiran, tidak pernah mengeluh karena harga makanan, tidak pernah mengeluh karena tipuan- tipuan. Begitu pula yang mengatur yang berkuasa, dari segala kepentingan, bagaimana caranya tidak mengganggu. Seperti halnya di semua tempat-tempat peziarah yang lain, setiap jalan pergi ke maqom akses jalan itu pasti terganggu oleh pedagang.

Jika didekati dengan ‘ainussuhti maka ada yang dirugikan. Jika didekati dengan ‘ainurridho pasti juga ada yang dirugikan. Tetapi umumnya agama, garis agama memberikan pandangan yang bagus dengan ‘ainul yaqin. Pandangan seperti inilah yang dibutuhkan, santun, mempertimbangkan dengan cermat segala sisi positiv dan negatif sehingga bisa melegakan semua pihak.

meskipun tidak bisa memuaskan keseluruhnya karena agama mengajarkan bahwa memuaskan semua fihak itu mustahil dan tidak mungkin ghoyaturridhonnaas ghoyatun laa tudrok, ridhonnas untuk mencapai kepuasan semua fihak, itu memang ghoyatun sebuah  cita-cita pok  tapi latudrok, tidak mungkin bisa dicapai, pasti tidak bisa dicapai . ingat ridhonnas ghoyatun la tudrok, tidak bisa orang itu memuaskan semua fihak secara pok. Ndak ada pemimpin yang begitu itu, ngak ada. Yang mampu kekadukan antara ‘ainurridho dan ‘ainussuhti dan bisa diambil kesimpulan ‘ainulyakin, maka pasti bisa mencerminkan kebijakan yang rohmatallil’alamin . untuk itu tidak ada yang bisa dipetik dari khutbah ini kecuali kita berinstrospeksi diri bagaimana hidup ini bisa bermanfaat bagaimana hidup ini bisa memberi kenyamanan bagi orang, dan itulah sesungguhnya alladzi taqwa.

Dengan demikian ketaqwaan itu sesungguhnya ada disetiap sector maka dibutuhkan dua mata yang sehat sehingga bisa melihat sebuah persoalan itu secara tepat, dibutuhkan pikiran yang cerdas, sehingga kita melihat persoalan itu bisa detail dan awas. Dibutuhkan pula hati yang bersih agar kita bisa membuahkan sikap dan kebijakan yang sungguh bermslakhah. Saya ambil satu contoh yang terbagus tetapi sesungguhnya sering mengandung kesalahan. Janganlah kita kalau sudah berbuat mashlahah yang tertinggi itu mengorbankan dirinya sendiri, ini pasti ada catatan.

Sering orang mencontohkan lilin, lilin itu memberi sinar kepada orang lain kepada lingkungn sementara dirinya sendiri hancur. Contoh ini seolah-olah benar tetapi ada yang tidak membenarkan. Yang betul adalah dirinya sendiri tidak hancur sementara tetap memancarkan sinar karena menghancurkan diri sendiri itu dilarang oleh agama, walaupun biaidikum ila dahlikah, bagusnya bagaimana? Wa ahsinu berbuatlah yang bagus.

Mudah-mudahan bermanfaat.

(Dikutip dari khutbah Jum’at Khutbah Jum’at KH. A. Mustain Syafi’i pada 5 Pebruari 2010 di Masjid Tebuireng)

About aulye

Santri -sebutan saya- tak tau jalan keluar!!

Tinggalkan komentar